Indonesia More Productive



PRIORITAS PENGEMBANGAN SAIN PRODUKTIF YANG COCOK UNTUK BANGSA
M. Subandi (FST-UIN SGD Bandung)


Assalamu alaikum ww.
Bismillahirrahmanirrahim
“Pemerintah Australia berpihak  menguntungkan petani produsen untuk di pasar dalam negeri dan memberikan subsidi harga dan atau proteksi terhadap hasil pertaniannya yang akan diekspor.  Dengan subsidi harga ekspor tersebut berarti pemerintah Australia menproteksi hasil pertanian dan peternakannya sehingga harganya dapat rendah. Dengan demikian di pasar internasional akan menang dalam bersaing dengan hasil pertanian dari negara lain.

 ...Perlu ada peninjauan kembali visi dan missi lembaga pendidikan kita yang selalu mencantumkan kemampuan berkompetisi dan keunggulan lainnya yang dikomporasikan dengan lembaga pendidikan lain. Dengan missi dan tujuan yang sekarang seolah-olah universitas dan sivitas akademikanya sedang  bertanding menyiapkan pemain-pemain yang unggul dalam kompetisi meraih kedudukan atau pekerjaan.  Universitas bangga dengan peraihan juara, nominasi dalam kompetisi, hadiah noble, juara olimpiade, rangking klas universitas dunia dan medali-medali menjadi simbul raihan standar kualitas.[1]  Simbol peringkat tersebut seolah-olah menjadi tujuan dan missi pendidikan mereka. Mereka kurang memperhitungkan tidak terpikirkan seberapa jauh keberadaan universitas dengan aktivitas sivitas akademikanya berkiprah dan pengaruhnya terasa oleh masyarakat atau ummat.   Padahal peraih juara  olimpiade itu tidak merepresentasikan rata rata kemanpuan otak anak bangsa ini, hanya segelintir siswa/mahasiswa, tetapi telah menguras perhatian dan dana untuk itu, dan melupakan mayoritas anak bangsa yang perlu dikembangkan. Bangsa kita berbeda dengan bangsa eropa (misal Jerman atau Jepang). Orang jerman atau jepang karakter dan etos kerjanya berbeda dengan kita.  Tidak disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan ummat di suatu tempat atau wilayah dan bagaimana kebiasaan dan kemanpuan masyarakatnya.  Apakah ada pengaruh yang positif bagi kehidupan ummat jangan jangan hanya penghaburan tenaga dan dana serta fokus dan melupakan yang seharusnya lebih diperhatikan.

BEKAS ILMUWAN
Pada tahun 2008, kota Bandung yang semula dikenal dengan sebutan kota kembang dan mendapat julukan Paris van Java karena kenyamanan dan keindahannya dengan tanaman bunga di taman-taman kota, menjadi terkenal dan menjadi berita nasional karena sampahnya.  Berbulan-bulan pemerintah kota Bandung tidak mampu mengelola sampah yang diproduksi masyarakatnya.  Demikian juga perilaku masyarakatnya yang tidak baik dalam hal kebersihan.  Pada waktu itu di banyak sudut-sudut jalan di kota Bandung, sampah menumpuk dengan bau busuk yang menusuk.  Tumpukan sampah yang membusuk diantaranya terlihat  di pinggir jalan protocol di daerah kampung Cilengkrang dekat kampus perguruan tinggi Islam Negeri ini, padahal ajaran Islam menyatakan kebersihan adalah bagian dari iman, tetapi masyarakat dekat kampus itu ternyata tidak tampak terpengaruh  oleh ajaran Islam yang didalami oleh sivitas akademika di kampus.  Tumpukan sampah juga menggunung di jalan Taman Sari di ujung Jalan Ganeca di depan kampus yang terkenal itu, tumpukan sampah di sana lebih tinggi dan lebih menusuk hidung baunya. Tidak ada pengaruh kampus yang konon terkenal penghasil teknokrat di Indonesia terhadap tumpukan sampah yang sedang membawa nama kota Bandung terkenal disebut-sebut di media nasional.
            Dalam bahasa Arab kita kenal ada peribahasa yang mengatakan: “Layakunu al-aliman aliman hatta yahdhara atsaru’ilmihi fi qaumi: Tidaklah seorang alim itu dapat disebut orang alim sehingga tampak nyatalah bekas ilmunya di lingkungan kaumnya”
            Belum terasa nyata pengaruh elit dan komunitas akademik di masyarakat sekitar kampus.  Yang terasa di lingkungan yang ada universitas dengan mahasiswanya yang banyak adalah menjadi ramenya daerah sekitar kampus itu. Di sekitar universitas itu tumbuh rumah atau petak-petak kamar kontrakan, warung dan toko-toko.  Penduduk setempat kebanjiran mahasiswa yang mencari kamar kontrakan.  Penduduk pun merasa terbantu dari segi pendapatan, mereka dapat menyediakan warung-warung kebutuhan hidup sehari-hari mahasiswa.  Secara ekonomis ada peningkatan di masyarakat sekitar kampus.  Akan tetapi secara akademis, dan secara ekonomik-produktif yang inovatif belum terlihat nyata.  Belum ada kelompok-kelompok cendikiawan yang terbina di masyarakat sekitar kampus.  Belum ada sentra-sentra ekonomik produktif seperti bengkel-bengkel pengembangan teknologi atau pusat-pusat pengrajin yang dilakukan oleh masyarakat.  Berkembangnya pengarajin sepatu di daerah Cibaduyut itu bukan karena adanya motivasi atau bentukan dari suatu fakultas ekonomi yang ada perguruan tinggi.  Demikian juga, pengrajin di daerah Cipacing bukan kerena pembinaan dari fakultas teknologi yang ada.  Belum banyak tempat kajian agama yang tumbuh di sekitar kampus yang dibina oleh civitas akademikanya. 
Itulah mungkin produk dari motivasi dan missi akademis universitas yang tidak kaffah yang kalah oleh motivasi meterialis dan posisi duniawiyah.  Padahal di kampus-kampus Universitas negeri itu banyak tenaga pengajar lulusan universitas luar negeri  atau pejabatnya (pimpinan universitas) yang pernah melihat kondisi di Negara yang maju.  Di Negara yang maju yang mereka pernah tinggal atau dikunjungi, di negara yang sudah maju itu, meskipun dengan nilai social-budaya yang berbeda, terasa kondisi keteraturan, disiplin taat aturan, kehidupan  duniawi yang sejahtera, hidup tertib, kota terasa bersih nyaman dan aman.
Di universitas Negara kita ini telah pula dikembangkan metode pengajaran dan pengadaan sarana/peralatan pendidikan termasuk laboratoriumnya yang meniru seperti yang dilaksanakan atau yang ada di universitas Negara maju.  Akan tetapi tetap saja, prestasi akademik lulusannya dan prestise nama beken universitas tidak mewarnai dan belum terasa pengaruhnya di lingkungan atau masyarakat kota Bandung ini. Fenomena tersebut bukan terjadi hanya di universitas-universitas di Indonesia akan tetapi di seluruh Negara yang penduduknya mayoritas muslim.  Fenomena ini dianalisis oleh al-Faruki (1984) sebagai akibat pendidikan kita tidak memiliki ketajaman wawasan. Wawasan Islam yang lengkap akan menjadi fondasi berhasilnya pendidikan.  Pendidikan di Negara Islam (penduduknya mayoritas muslim) hanya melaksanakan materi-materi dan metodologi meniru dari Barat, namun tidak mengandung semangat wawasan keseriusan yang tinggi seperti orang Barat.  Tanpa wawasan tersebut materi dan metodologi tersebut hanyalah alat-alat sederhana saja yang menghasilkan lulusan setarap mahasiswa tingkat tahun kedua (sophomore), baru tahu sedikit kata  Al-Faruqi.
Selajutnya al-Faruki (1984) menyebutkan untuk menjadi lulusan yang unggul seperti orang Barat, mahasiswa dan lulusan harus memiliki persepsi terhadap totalitas pengetahuan di bidangnya dan harus memiliki motivasi (semangat jihad Islam) untuk mencocokan totalitas ilmunya.  Kalau tidak demikian tidak mungkin ia dapat melakukan transendensi di bidang ilmunya.



Dr. Keba Moto seorang dosen di Departemen Fisika UI Jakarta dalam paparannya pada seminar Internasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN Jakarta pada beberapa tahun yang lalu (2010) mengatakan ;
"Seandainya ilmuwan di negara negara maju berhenti berinovasi dan ilmuwan di Indonesia berlari mengejar ketertinggalannya, dalam 200 tahun ilmuwan Indonesia tidak akan manpu mengejar"





0 komentar:

Post a Comment

Indonesia More Productive